Hak Asasi Manusia
Hak asasi adalah hak – hak dasar yang dimiliki oleh
manusia, sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup,hak
kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan hak – hak dasar lain yang melekat
pada diri pribadi manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak
asasi manusia hakikatnya semata – mata bukan dari manusia sendiri tetapi dari
tuhan yang maha esa, yang dibawa sejak lahir. Hak – hak asasi ini menjadi dasar
hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang lain.
Kesadaran akan hak asasi manusia ,
harga diri , harkat dan martabat kemanusiaannya, diawali sejak manusia ada di
muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan yang sudah ada sejak
manusia itu dilahirkan dan merupakan hak kodrati yang melekat pada diri
manusia. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar di dunia ini sebagai suatu
usaha untuk menegakkan hak asasi manusia.
Sejarah singkatnya timbulnya HAM
Hak asasi manusia yang dikenal saat ini dalam berbagai
piagam atau konstitusi sesungguhnya telah diperjuangkan sejak abad ke 13 di
inggris. Pada masa raja Inggris John Lackland (1199-1216) memerintah secara
sewenang – wenang telah timbul protes keras dikalangan para bangsawan. Protes
tersebut melahirkan sebuah piagam agung yang dikenal dengan nama Magna Charta.
Di dalam piagam ini pengertian hak asasi belum sempurna karena terbatas hanya
memuat jaminan perlindungan terhadap hak – hak kaum bangsawan dan gereja.
Pada tahun 1628 di Inggris pula terjadi pertentangan antara
raja Charles I dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the hause of
sommons) yang menghasilkan petition of rights. Petisi ini membuat ketentuan
bahwa penetapan pajak dan hak – hak istimewa harus dengan izin parlemen, dan
bahwa siapapun tidak boleh ditangkap tanpa tuduhan – tuduhan yang
sah.Perjuangan hak asasi manusia yang lebih nyata terjadi pada tahun 1689
ketika raja willem III revolution. Revolusi ini besar mengawali babak baru
kehidupan demokasi di Inggris dengan suatu perpindahan kekuasaan dari tangan
raja ke parlemen.
Pemikiran
john locke mempengaruhi Montesquieu dan Rousseau,sehingga mereka menentang
kekuasaan mutlak raja. Montesquieu menyusun teori trias politica, yaitu
konsepsi pemisahan kekuasaan antara legislative,eksekutif dan yudikatif.
Sedangkan dalam hukum du contract social Rousseau menyatakan bahwa Negara
dilahirkan bebas yang tak boleh dibelenggu oleh manusia lain termasuk oleh
raja. Pandangan demikian ini menmbulkan semangat bagi rakyat tertindas
,khususnya di prancis ,untuk memperjuangkan hak asasinya.
Pemerintahan raja yang sewenang – wenang dan kaum bangsawan
yang feodalistik menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Perancis. Pada masa
pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat perancis baru berani membentuk
Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa perancis.
Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI yang lemah, rakyat perancis baru berani
membentuk Assemblee Nationale, yaitu dewan nasional sebagai perwakilan bangsa
perancis. Masyarakat Perancis baru berani mengubah strukturnya dari feodalistis
menjadi lama (kerajaan)n dihapuskan dan disusunlah pemerintah baru.
Pelanggaran
HAM
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Contoh
kasus pelanggaran HAM
Kasus Marsinah
Hutan Wilangan,
Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Awalnya adalah anak-anak yang bermain. Mengira
bahwa kaki yang menjulur pada sebuah gubuk kelompok tani adalah milik orang
gila yang biasa tidur di situ. Mereka menggoda sambil melempari dengan kerikil.
Setelah berkali-kali dilempari dan tak ada reaksi, mereka pun mendekat.
Alangkah terkejutnya ketika mereka mendapati bahwa kaki yang menjulur itu
adalah kaki seorang mayat perempuan.
Mayat tersebut
tergeletak dalam posisi terlentang. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar
bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya lecet-lecet, diduga
akibat diseret dalam tangan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah,
diduga akibat penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel
kain putih berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas.
Hanya, dan
hanya, secarik potongan resi wesel sudah cukup untuk memberi petunjuk bagi
aparat kepolisian untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut. Ia
adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada beberapa waktu lalu terlibat
aksi mogok. Tapi apakah darah dan bekas-bekas penganiayaan yang meluluhlantakan
tubuh Marsinah juga akan cukup memberi petunjuk siapa tokoh penganiayaan dan
kepentingan-kepentingan apa yang ada dibalik penganiayaan tersebut di kemudian
hari?
Pengetahuan
Mengubah Nasib
Marsinah lahir
tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah
kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal
mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—Pu’irah—yang
tinggal bersama bibinya—Sini—di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.
Pendidikan
dasar ditempuhnya di SD Karangasem 189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan
menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang
itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan
sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan
dengan berjualan makanan kecil.
Di lingkungan
keluarganya, ia dikenal anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa
membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar
makanan untuk pamannya di sawah. “Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk
saya. Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai payung dari pelepah
pisang,” kenang Suradji, pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda dengan
teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan
belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk
menyaksikan siaran berita televisi.
Ketika
menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di
kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa
yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan
peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus
menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup biaya untuk melanjutkan sekolah
ke jenjang yang lebih tinggi. “Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa
untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” ujar kakek Marsinah.
Pergi meninggalkan
desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di
pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani makin kecil peluangnya.
Sekarang ani-ani—alat tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit yang
lebih efisien dan tidak memerlukan jumlah tenaga kerja sebanyak sebelumnya.
Perkembangan teknologi semakin menyingkirkan para buruh tani. Tidak
mengherankan, bau keringat bercampur tanah sawah sudah tidak lagi memenuhi
udara pedesaan. Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah semakin jarang
terdengar. Ia telah disingkirkan oleh deru mesin traktor.
Ujungnya adalah
tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan
sejumnlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan gresik.
Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun
kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri,
sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di
Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya
yang menjadi buruh pabrik.
Kegagalan
meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam.
“Mbak Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib
seseorang,” ujar salah seorang temannya. Karena itu, untuk menambah pengetahuan
dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di Dian
Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan Word Processor
sempat dirampungkan beberapa waktu sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang
tinggi juga tampak dari kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka
mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga
tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai kacamata. Pada
waktu-waktu luang, ia seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk kegiatan
yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untukmembeli
koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk
menutup biaya hidup.
Ia dikenal
sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, tingan tangan dan setia kawan. Ia
sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi
kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk
menjenguk. Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan
tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.
Paling tidak
dua sifat yang terakhir disebut—pemberani dan setia kawan—inilah yang
membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para
buruh PT. CPS (Catur Putra Surya)—pabrik tempat kerja Marsinah—resah karena ada
kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu
termuat himbauan pada para pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20%
dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT. CPS
mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai
dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.
Keresahan
tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT.
CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Sebagian buruh
bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu
juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untukmencari data tentang
daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan
kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.
Tanggal 4 Mei
1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12
tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka
bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang
menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak
ketinggalan, para satpam juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta merobek
poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada
para pengunjuk rasa.
Bangkitnya
Keberanian
Suasana kota
yang penuh dengan persaingan telah membuat setiap orang yang tinggal didalamnya
untuk menjadi keras. Apalagi kehidupan buruh-buruh di pabrik yang setiap hari
dikejar-kejar target produksi yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha.
Maka menjadi tidak mengherankan bahwa Marsinah, gadis desa yang lugu, lalu
tidak canggung berdiri di barisan terdepan pengunjuk rasa. Sebuah keberanian
telah menggusur kepasrahan pada nasib!
Semakin merebak
jumlah aksi pemogokan di berbagai kota industri menjadi bukti ketidakpuasan.
Pabrik, gedung Dewan Perwakilan Rakyat, instansi-instansi pemerintah yang
berurusan dengan masalah perburuhan, dan jalanan-jalanan kota menjadi panggung
yang mementaskan keresahan kaum buruh yang tak kunjung terhenti. Menurut
berita, di Jawa Timur tercatat 155 pemogokan yang semuanya dihadapi tentara.
Aparat dari
koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan sebelum aksi
berlangsung. “Ya sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan masuk, keamanan
saya serahkan kepada bapak, kami sekarang hendak berunding dengan pengusaha!”,
ucapnya pada salah seorang aparat keamanan.
Perundingan
berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan
kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah
satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan.
Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan pengusaha dan upah
minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen 50/1992 tentang Upah
Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan
bersama.
Berakhirkah
pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993,
13 buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu diterangkan dalam surat dari
kelurahan Siring. Tanpa babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu
menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik
dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di
tempat yang sama. Sungguh! Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan tentara
ikut bermain.
Marsinah sadar
betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di
negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya,
dari keluhan-keluhan kawan-kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang
teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya
memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam
masyarakat kita.
Kemarahannya
meledak saat mengetahui perlakuan tentara kepada kawan-kawannya. “Saya tidak
terima! Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah
gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan kodim milik salah seorang
kawannya, lantas pergi.
Kemana perginya
Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di
pabrik tempat ia bekerja.
Awal
Kebangkitan
Marsinah telah
mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal
9 Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan tergeletak dalam posisi
melintang. Sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua
pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret dalam keadaan terikat.
Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela
pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda
tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas, mengenaskan.
Marsinah adalah
sosok perjuangan yang telah dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan kecurigaan.
Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak bisa dipenjara. Jiwanya
akan membumbung tinggi untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan
menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.
Anak-anak desa
yang menemukan Marsinah, dan kita, menjadi saksi. Sekarang atau esok, anak-anak
itu dan kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang ketidakadilan, tentang
gugurnya seorang buruh pejuang, tentang buruh perempuan yang tidak ragu untuk
kehilangan nyawanya demi keyakinannya tentang kebenaran.
Sumber
: